PERNYATAAN SIKAP
SERIKAT BURUH NASIONAL INDONESIA (SBNI)
MASALAH BPJS KESEHATAN DAN
SOLUSINYA
BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab
langsung kepada Presiden dengan tugas untuk menyelenggarakan jaminan Kesehatan
Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil,
Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta
keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa. BPJS Kesehatan
sebelumnya bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT Askes
Indonesia (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes
Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014.
BPJS Kesehatan merupakan penyelenggara
program jaminan sosial di bidang kesehatan yang merupakan salah satu dari lima
program dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yaitu Jaminan Kesehatan,
Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan
Kematian sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional.BPJS Kesehatan bersama BPJS Ketenagakerjaan
(dahulu bernama Jamsostek ) merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk
BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS
Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2014.
BPJS Kesehatan juga menjalankan fungsi
pemerintahan (governing function) di bidang pelayanan umum (public services)
yang sebelumnya sebagian dijalankan oleh badan usaha milik negara dan sebagian
lainnya oleh lembaga pemerintahan. Gabungan antara kedua fungsi badan usaha dan
fungsi pemerintahan itulah, yang dewasa ini, tercermin dalam status BPJS
Kesehatan sebagai badan hukum publik yang menjalankan fungsi pelayanan umum di
bidang penyelenggaraan jaminan sosial nasional.
Modal awal pembentukan BPJS
Kesehatandibiayai dari APBN dan selanjutnya memiliki kekayaan tersendiri yang
meliputi aset BPJS Kesehatan dan aset dana jaminan sosial dari sumber-sumber
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. Kewenangan BPJS Kesehatan meliputi
seluruh wilayah Republik Indonesia dan dapat mewakili Indonesia atas nama
negara dalam hubungan dengan badan-badan Internasional. Kewenangan ini
merupakan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan badan hukum maupun
lembaga negara lainnya. Maka dari itu, BPJS Kesehatan merupakan salah satu
bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), sehingga pelaksanaan tugasnya dipertanggungjawabkan
kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan negara.
Masalah BPJS
Kesehatan
Saat ini Sistem Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) BPJS Kesehatan berencanaakan kembali menaikkan iuran anggotanya.
Ini dilakukan karena alasan terjadinya defisit yang makin membesar . Pada 2018 defisit
BPJS Kesehatan mencapai Rp 19,4 triliun. Dalam 4 tahun terakhir, pemerintah telah
menyuntikkan dana sebesar Rp 25,7 triliun. Namun, defisit BPJS Kesehatan tetap besar
karena jumlahnya mencapai Rp 49,3 triliun sejak 2015.
Kenaikan ini terdiri atas beberapa
lapisan dari penerima bantuan iuran hingga peserta yang bukan penerima upah.
Besarnya iuran ini bervariasi sesuai tingkatannya, yakni :
1)
Iuran
penerima bantuan iuran (PBI) : Rp 42.000 (sebelumnya Rp 23.000).
2)
Iuran
peserta penerima upah - Badan Usaha : 5% dengan batas atas upah Rp 12 juta
(sebelumnya Rp 8 juta).
3)
Iuran
peserta penerima upah - Pemerintah : 5% dari take home pay (sebelumnya 5% dari
gaji pokok + tunjangan keluarga)
4)
Iuran
peserta bukan penerima upah :
a. Kelas 1 : Rp 120.000 (sebelumnya Rp
80.000)
b. Kelas 2 : Rp 75.000 (sebelumnya Rp
51.000)
c. Kelas 3 : Rp 42.000 (sebelumnya Rp
25.500)
Jika usulan iuran berlaku mulai 2020, dianggap
telah dapat dicapai sustainabilitas dana JKN hingga akhir 2021, dengan asumsi
pemerintah telah menyelesaikan akumulasi defisit sampai akhir 2019.
Pertanyaannya, apakah betul kenaikkan tersebut marupakan jaminan solusi dari
masalah yang ada di BPJS Kesehatan sekarang? Sementara pada satu sisi, besarnya
angka iuran tersebut sudah pasti akan semakin meningkatkan beban masyarakat,
khususnya masyarakat yang ikut BPJS Kesehatan secara mandiri karena bukan
pekerja penerima upah.
Sebelum kita jawab, mari kita cermati
akar masalahnya. Dari hasil audit Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dilakukandi 25.528 fasilitas
kesehatan yang masuk dalam sistem JKN. Ada beberapa akar masalah yang membuat
BPJS Kesehatan defisit antara lain:
1.
Rumah sakit nakal. Berdasarkan audit, BPKP menemukan banyak rumah sakit rujukan
yang melakulan pembohongan data. Hal ini terkait dengan kategori rumah sakit
sebagai Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Pertama (FKRTL) BPJS Kesehatan.
Saat ini rumah sakit FKRTL memiliki kategori mulai dari A hingga D. Setiap
kategori memiliki biaya per unit pasien yang berbeda. Biaya paling tinggi ialah
kategori A dan paling rendah D. Untuk mendapatkan penggantian dari BPJS
Kesehatan, banyak rumah sakit yang menaikkan kategori. Misalnya D dia ngakunya
C, B ngakunya A. Ini supaya dapat per unit lebih besar. Agar hal ini tidak
terjadi lagi, perlu melakukan review ulang kelas rumah sakit, bukan menaikkan
besarnya iuran kesehatan.
2.
Layanan lebih banyak. Dari peserta Audit BPKP juga terungkap bahwa terjadi
penggunaan layanan sebanyak 233,9 juta layanan, padahal total peserta JKN hanya
223,3 juta orang. Rincian penggunaan layanan meliputi 147,4 juta layanan di
puskesmas atau klinik, 76,8 juta layanan rawat jalan di rumah sakit, dan 9,7
juta layanan rawat inap. Jadi memperbaiki penggunaan layanan lebih mendesak
untuk dilakukan, bukan menaikkan besaran iuran.
3.
Perusahaan main-main. Akar masalah defisit BPJS Kesehatan lainnya ialah
ditemukannya upaya perusahaan mengakali iuran BPJS Kesehatan. Saat ini
perusahaan yang sudah mendaftar sebagai peserta berkewajiban membayarkan 4 persen
dari 5 persen dari gaji pokok karyawan untuk iuran BPJS Kesehatan. Agar bayar
iuran yang lebih kecil, perusahaan melaporan jumlah karyawan lebih kecil dari
jumlah sebenarnya kepada BPJS Kesehatan. Selain itu, ada juga perusahaan yang
sudah terdaftar di BPJS Kesehatan tetapi melaporkan gaji karyawan lebih kecil
dari yang dibayarkan. Tujuannya sama, yakni untuk mengurangi beban perusahaan
di dalam membayarkan kewajiban, baik dari sisi badan usaha maupun pegawai.
4.
Peserta aktif rendah. Audit BPKP juga menemukan bahwa tingkat kepesertaan aktif
dari pekerja bukan penerima upah masih rendah, yaitu 53,7 persen. BPJS berjanji
angka itu ke 60 persen. Akan tetapi dengan dinaikkannya iuran, kepesertaan
aktif dari kategori ini justru akan berkurang jika kemampuan membayar iuran
semakin tinggi.
5.
Data tidak valid. Akar masalah selanjutnya ialah validitas dan integritas data
BPJS Kesehatan. Hal ini disebabkan perpindahan sistem Akses, Jamkesda, dan
Jamkesmas ke BPJS Kesehatan. BPKP menemukan ada peserta yang harusnya tidak
masuk sistem BPJS Kesehatan justru masuk ke dalam sistem. Selain itu, ditemukan
juga peserta yang tidak memiliki NIK, bahkan nama ganda. BPJS kesehatan harus
terus melakukan pembersihan dan dimonitor.
6.
Manajemen klaim Akar masalah lain ialah berhubungan dengan sistem di BPJS
Kesehatan sendiri. BPKP menemukan ada yang klaim ganda peserta, bahkan ada
klaim dari peserta yang sudah meninggal. Selain itu, ada juga peserta yang
tidak aktif tetapi klaimmya bisa dicairkan. BPJS berargumentasi itu tidak
mungkin, tetapi BPKP menemukan hal tersebut dalam audit.
Sikap Depenas SBNI
Dari beberapa
temuan masalah tersebut, maka dengan ini Dewan Pengurus Nasional Serikat Buruh
Nasional Indonesia (Depenas SBNI) mengambil kesimpulan dan sikap :
1)
Kenaikkan
iuran BPJS Kesehatan dengan besaran sebagaimana tersebut diatas harus di tolak.
Depenas SBNI menuntut agar hasil audit BPKP ditindaklanjuti dengan dilakukan
perbaikan.
2)
Pemerintah
harus menutup terlebih dahulu angka deficit dari BPJS kesehatan yang telah terjadi.
3)
Revisi
Undang-Undang BPJS soal besaran iuran. Iuran pekerja maksimal 2% dari
pendapatan, sementara perusahaan 6%. Besaran ini bisa disesuaikan berdasarkan
tingkat pendapatan. Di bawah upah minimum kerja di gratiskan.
4)
Penyesuaian
pembayaran klaim penyakit tertentu yang dianggap kronis dan memerlukan
pengobatan yang intensif dan rutin, disesuaikan dengan pendapatan pasien.Untuk
penyakit menengah atas dan orang kaya, bisa dinaikkan.
5)
Manfaatkan
komputerisasi dan sistem online untuk pelayanan yang lebih baik dan tidak
berbelit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar