Serikat Buruh Nasional Indonesia

Medan, Sumatera Utara, Indonesia
Serikat Buruh Nasional Indonesia adalah Organisasi yang memperjuangan kesejahteraan Pekerja/Buruh Hak-hak Normatip Pekerja/Buruh Pekerja Buruh yang di PHK tampa di berikan Hak-haknya oleh Para Pengusaha.

Selasa, 17 September 2019

PERNYATAAN SIKAP SERIKAT BURUH NASIONAL INDONESIA (SBNI) MASALAH BPJS KESEHATAN DAN SOLUSINYA


PERNYATAAN SIKAP
SERIKAT BURUH NASIONAL INDONESIA (SBNI)
MASALAH BPJS KESEHATAN DAN SOLUSINYA

 SBNINews.Medan, 17 September 2019
BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dengan tugas untuk menyelenggarakan jaminan Kesehatan Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa. BPJS Kesehatan sebelumnya bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014.
BPJS Kesehatan merupakan penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan yang merupakan salah satu dari lima program dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yaitu Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.BPJS Kesehatan bersama BPJS Ketenagakerjaan (dahulu bernama Jamsostek ) merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2014.
BPJS Kesehatan juga menjalankan fungsi pemerintahan (governing function) di bidang pelayanan umum (public services) yang sebelumnya sebagian dijalankan oleh badan usaha milik negara dan sebagian lainnya oleh lembaga pemerintahan. Gabungan antara kedua fungsi badan usaha dan fungsi pemerintahan itulah, yang dewasa ini, tercermin dalam status BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik yang menjalankan fungsi pelayanan umum di bidang penyelenggaraan jaminan sosial nasional.
Modal awal pembentukan BPJS Kesehatandibiayai dari APBN dan selanjutnya memiliki kekayaan tersendiri yang meliputi aset BPJS Kesehatan dan aset dana jaminan sosial dari sumber-sumber sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. Kewenangan BPJS Kesehatan meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia dan dapat mewakili Indonesia atas nama negara dalam hubungan dengan badan-badan Internasional. Kewenangan ini merupakan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan badan hukum maupun lembaga negara lainnya. Maka dari itu, BPJS Kesehatan merupakan salah satu bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), sehingga pelaksanaan tugasnya dipertanggungjawabkan kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan negara.

Masalah BPJS Kesehatan
Saat ini Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan berencanaakan kembali menaikkan iuran anggotanya. Ini dilakukan karena alasan terjadinya defisit yang makin membesar . Pada 2018 defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 19,4 triliun. Dalam 4 tahun terakhir, pemerintah telah menyuntikkan dana sebesar Rp 25,7 triliun. Namun, defisit BPJS Kesehatan tetap besar karena jumlahnya mencapai Rp 49,3 triliun sejak 2015.
Kenaikan ini terdiri atas beberapa lapisan dari penerima bantuan iuran hingga peserta yang bukan penerima upah. Besarnya iuran ini bervariasi sesuai tingkatannya, yakni :
1)      Iuran penerima bantuan iuran (PBI) : Rp 42.000 (sebelumnya Rp 23.000).
2)      Iuran peserta penerima upah - Badan Usaha : 5% dengan batas atas upah Rp 12 juta (sebelumnya Rp 8 juta).
3)      Iuran peserta penerima upah - Pemerintah : 5% dari take home pay (sebelumnya 5% dari gaji pokok + tunjangan keluarga)
4)      Iuran peserta bukan penerima upah :
a. Kelas 1 : Rp 120.000 (sebelumnya Rp 80.000)
b. Kelas 2 : Rp 75.000 (sebelumnya Rp 51.000)
c. Kelas 3 : Rp 42.000 (sebelumnya Rp 25.500)

Jika usulan iuran berlaku mulai 2020, dianggap telah dapat dicapai sustainabilitas dana JKN hingga akhir 2021, dengan asumsi pemerintah telah menyelesaikan akumulasi defisit sampai akhir 2019. Pertanyaannya, apakah betul kenaikkan tersebut marupakan jaminan solusi dari masalah yang ada di BPJS Kesehatan sekarang? Sementara pada satu sisi, besarnya angka iuran tersebut sudah pasti akan semakin meningkatkan beban masyarakat, khususnya masyarakat yang ikut BPJS Kesehatan secara mandiri karena bukan pekerja penerima upah.
Sebelum kita jawab, mari kita cermati akar masalahnya.  Dari hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dilakukandi 25.528 fasilitas kesehatan yang masuk dalam sistem JKN. Ada beberapa akar masalah yang membuat BPJS Kesehatan defisit antara lain:
1. Rumah sakit nakal. Berdasarkan audit, BPKP menemukan banyak rumah sakit rujukan yang melakulan pembohongan data. Hal ini terkait dengan kategori rumah sakit sebagai Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Pertama (FKRTL) BPJS Kesehatan. Saat ini rumah sakit FKRTL memiliki kategori mulai dari A hingga D. Setiap kategori memiliki biaya per unit pasien yang berbeda. Biaya paling tinggi ialah kategori A dan paling rendah D. Untuk mendapatkan penggantian dari BPJS Kesehatan, banyak rumah sakit yang menaikkan kategori. Misalnya D dia ngakunya C, B ngakunya A. Ini supaya dapat per unit lebih besar. Agar hal ini tidak terjadi lagi, perlu melakukan review ulang kelas rumah sakit, bukan menaikkan besarnya iuran kesehatan.
2. Layanan lebih banyak. Dari peserta Audit BPKP juga terungkap bahwa terjadi penggunaan layanan sebanyak 233,9 juta layanan, padahal total peserta JKN hanya 223,3 juta orang. Rincian penggunaan layanan meliputi 147,4 juta layanan di puskesmas atau klinik, 76,8 juta layanan rawat jalan di rumah sakit, dan 9,7 juta layanan rawat inap. Jadi memperbaiki penggunaan layanan lebih mendesak untuk dilakukan, bukan menaikkan besaran iuran.
3. Perusahaan main-main. Akar masalah defisit BPJS Kesehatan lainnya ialah ditemukannya upaya perusahaan mengakali iuran BPJS Kesehatan. Saat ini perusahaan yang sudah mendaftar sebagai peserta berkewajiban membayarkan 4 persen dari 5 persen dari gaji pokok karyawan untuk iuran BPJS Kesehatan. Agar bayar iuran yang lebih kecil, perusahaan melaporan jumlah karyawan lebih kecil dari jumlah sebenarnya kepada BPJS Kesehatan. Selain itu, ada juga perusahaan yang sudah terdaftar di BPJS Kesehatan tetapi melaporkan gaji karyawan lebih kecil dari yang dibayarkan. Tujuannya sama, yakni untuk mengurangi beban perusahaan di dalam membayarkan kewajiban, baik dari sisi badan usaha maupun pegawai.
4. Peserta aktif rendah. Audit BPKP juga menemukan bahwa tingkat kepesertaan aktif dari pekerja bukan penerima upah masih rendah, yaitu 53,7 persen. BPJS berjanji angka itu ke 60 persen. Akan tetapi dengan dinaikkannya iuran, kepesertaan aktif dari kategori ini justru akan berkurang jika kemampuan membayar iuran semakin tinggi.
5. Data tidak valid. Akar masalah selanjutnya ialah validitas dan integritas data BPJS Kesehatan. Hal ini disebabkan perpindahan sistem Akses, Jamkesda, dan Jamkesmas ke BPJS Kesehatan. BPKP menemukan ada peserta yang harusnya tidak masuk sistem BPJS Kesehatan justru masuk ke dalam sistem. Selain itu, ditemukan juga peserta yang tidak memiliki NIK, bahkan nama ganda. BPJS kesehatan harus terus melakukan pembersihan dan dimonitor.
6. Manajemen klaim Akar masalah lain ialah berhubungan dengan sistem di BPJS Kesehatan sendiri. BPKP menemukan ada yang klaim ganda peserta, bahkan ada klaim dari peserta yang sudah meninggal. Selain itu, ada juga peserta yang tidak aktif tetapi klaimmya bisa dicairkan. BPJS berargumentasi itu tidak mungkin, tetapi BPKP menemukan hal tersebut dalam audit.

Sikap Depenas SBNI
Dari beberapa temuan masalah tersebut, maka dengan ini Dewan Pengurus Nasional Serikat Buruh Nasional Indonesia (Depenas SBNI) mengambil kesimpulan dan sikap :
1)   Kenaikkan iuran BPJS Kesehatan dengan besaran sebagaimana tersebut diatas harus di tolak. Depenas SBNI menuntut agar hasil audit BPKP ditindaklanjuti dengan dilakukan perbaikan.
2)   Pemerintah harus menutup terlebih dahulu angka deficit dari BPJS kesehatan yang telah terjadi.
3)   Revisi Undang-Undang BPJS soal besaran iuran. Iuran pekerja maksimal 2% dari pendapatan, sementara perusahaan 6%. Besaran ini bisa disesuaikan berdasarkan tingkat pendapatan. Di bawah upah minimum kerja di gratiskan.
4)   Penyesuaian pembayaran klaim penyakit tertentu yang dianggap kronis dan memerlukan pengobatan yang intensif dan rutin, disesuaikan dengan pendapatan pasien.Untuk penyakit menengah atas dan orang kaya, bisa dinaikkan.
5)   Manfaatkan komputerisasi dan sistem online untuk pelayanan yang lebih baik dan tidak berbelit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar